Jakarta_ Batik memang sudah menjadi warisan budaya Indonesia, namun tidak sedikit beberapa negara mengklaim batik menjadi warisan budayanya, seperti halnya negara Malaysia.
Di depan Menteri Perdagangan Rachmat Gobel, mantan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Rahardi Ramelan menyatakan, polemik ini dikarenakan belum adanya kesepakatan mengenai definisi batik, sehingga ini menjadi salah satu hal yang menyebabkan batik asal Indonesia selalu diklaim negara lain.
Hal ini disampaikan Rahardi saat dialog mengenai batik di Gedung Kementerian Perdagangan, Jakarta, Kamis (30/7/2015).
Rahardi menilai, untuk menghadapi negara yang mengklaim batik sebagai produk buatannya, pemerintah Indonesia harus mengembalikan terlebih dahulu definisi soal batik. Pasalnya, negara lain mengklaim batik terhadap tekstil bermotif seperti batik.
"Karena kita tidak tahu batik sekarang bagaimana berkembangnya. Bagaimana memberikan batasannya itu agak susah. Jadi kita yang harus lebih gencar bahwa batik itu proses tadi," tegasnya.
"Batik hanya boleh disebut batik, jika melalui proses celup. Yaitu batik tulis, batik cap, dan kombinasi," sambungnya.
Diakui Rahardi, pada dasarnya batik merupakan sebuah proses kerajinan dengan mencelupkan tinta warna pada kain. Namun, dalam Undang-undang (UU) hak cipta justru mendefinisikan lain bahwa yang disebut batik adalah motif.
"Di UU hak cipta yang baru agak lain. Yang disebut batik itu motifnya tradisional (yang dimiliki negara), dan batik kontemporer. Jadi di kita belum ada kesepakatan batik itu apa," paparnya.
Sementara itu, industri tekstil sudah semakin berkembang dengan hadirnya tekstil printing yang dapat menggambarkan motif batik. Bahkan, tekstil printing sudah menjadi industri sendiri di Tanah Air. Namun, yang membedakan batik tekstil printing dengan batik asli adalah harga.
"Ini yang sangat mengganggu pengrajin kita. Batik itu termasuk craft, yang dihasilkan oleh perajin. Saat ini yg jadi masalah soal harga dan pilihan. Batik cap harganya lumayan, tapi yang printing tekstil harganya murah," tandasnya.
Di depan Menteri Perdagangan Rachmat Gobel, mantan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Rahardi Ramelan menyatakan, polemik ini dikarenakan belum adanya kesepakatan mengenai definisi batik, sehingga ini menjadi salah satu hal yang menyebabkan batik asal Indonesia selalu diklaim negara lain.
Hal ini disampaikan Rahardi saat dialog mengenai batik di Gedung Kementerian Perdagangan, Jakarta, Kamis (30/7/2015).
Rahardi menilai, untuk menghadapi negara yang mengklaim batik sebagai produk buatannya, pemerintah Indonesia harus mengembalikan terlebih dahulu definisi soal batik. Pasalnya, negara lain mengklaim batik terhadap tekstil bermotif seperti batik.
"Karena kita tidak tahu batik sekarang bagaimana berkembangnya. Bagaimana memberikan batasannya itu agak susah. Jadi kita yang harus lebih gencar bahwa batik itu proses tadi," tegasnya.
"Batik hanya boleh disebut batik, jika melalui proses celup. Yaitu batik tulis, batik cap, dan kombinasi," sambungnya.
Diakui Rahardi, pada dasarnya batik merupakan sebuah proses kerajinan dengan mencelupkan tinta warna pada kain. Namun, dalam Undang-undang (UU) hak cipta justru mendefinisikan lain bahwa yang disebut batik adalah motif.
"Di UU hak cipta yang baru agak lain. Yang disebut batik itu motifnya tradisional (yang dimiliki negara), dan batik kontemporer. Jadi di kita belum ada kesepakatan batik itu apa," paparnya.
Sementara itu, industri tekstil sudah semakin berkembang dengan hadirnya tekstil printing yang dapat menggambarkan motif batik. Bahkan, tekstil printing sudah menjadi industri sendiri di Tanah Air. Namun, yang membedakan batik tekstil printing dengan batik asli adalah harga.
"Ini yang sangat mengganggu pengrajin kita. Batik itu termasuk craft, yang dihasilkan oleh perajin. Saat ini yg jadi masalah soal harga dan pilihan. Batik cap harganya lumayan, tapi yang printing tekstil harganya murah," tandasnya.
Posting Komentar untuk "Mengungkap Definisi Batik"