Sukses bisa jadi memiliki definisi yang kompleks bagi para kreator busana. Namun bagi para pemain di dunia fashion Indonesia soal 'memadu-padankan' ide kreatif, visi bangsa, ketekunan, plus momentum, telah menjadi sebuah 'daily lives'.
Sebuah kultur lokal yang tak kalah kompleks sebagaimana diwariskannya batik, dan tenun dari generasi ke generasi. Sebuah kekuatan yang mengakar dari setiap ujung jari nenek moyang kita 'terhubung' pada tangan-tangan kreatif kita hari ini.
Di industri busana muslim (muslim fashion), Indonesia memiliki potensi besar untuk menjadi trend setter dan pusat mode dunia karena secara kultur, bangsa ini mampu mewujudkannya.
Visi Bangsa dan Dinamika Hari Ini
Kalangan asosiasi desainer Indonesia dan pemerintah sudah mencanangkan tahun 2020 Indonesia akan menjadi kiblat busana muslim dunia. Seperti halnya pusat mode dunia yang dinilai paling maju dewasa ini, yakni Paris, Milan, New York dan London.
Dalam merealisasi ide-ide kreatif, para desainer dan pelaku industri ini tak henti-henti bekerja sekeras-kerasnya dan kini telah melahirkan banyak rancangan-rancangan favorit yang men-dapat pengakuan dan diperhitungkan di pasar mode dunia.
Soal Momentum, tentu tidak akan datang begitu saja tanpa diciptakan. Eksibisi, fashion week, konferensi mode busana level internasional sudah harus menjadi agenda tahunan untuk dihelat di berbagai kota di negeri ini. Dan mempromosikannya ke berbagai target pasar melalui media-media komunikasi baik lokal dan luar negeri, dan seterusnya.
Yang menjadi ujung tombak keberhasilannya, adalah bagaimana mengembangkan bisnisnya. Industri busana dan mode ini harus memiliki kemampuan merebut minat pasar, dan dilakukan secara agresif.
Sebab targetnya bukan sekadar menjual produk garmen muslim tapi memiliki brand-brand berkelas dunia yang meramaikan pusat-pusat mode busana muslim yang kita bangun.
"Dilihat dari perkembangannya, busana muslim Indonesia memiliki gaya yang lebih kreatif dan fashionable dibandingkan produk dari negara-negara Muslim lainnya," ungkap Ketua Dewan Penasehat Asosiasi Perancang dan Pengusaha Mode Indonesia (APPMI), Taruna Kusmayadi di Jakarta beberapa waktu lalu.
Salah satu event yang baru saja digelar adalah pameran dan kompetisi Indonesia International Islamic Fashion and Products (IIIFP) 2015 yang bertemakan “Ethnic Urbanovative” yang melibatkan 60 perancang dari dalam dan luar negeri seperti dari Malaysia, Australia, dan negara-negara Timur Tengah. Bahkan Australia cukup antusias dengan mengirimkan empat desainer. Mereka akan menghadirkan busana muslim dengan bahan batik Aborigin.
IIIFP 2015 didukung oleh Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah, Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan, Kementerian Pariwisata, Kementerian Badan Usaha Milik Negara, dan Kementerian Luar Negeri serta disponsori oleh BCA, AGP dan Wardah Cosmetic.
Kegiatan fashion show berlangsung pada hari pertama dan kedua, tanggal 9 dan 10 September 2015, menampilkan karya-karya desainer Indonesia dan mancanegara.
Desainer Indonesia yang menggelar karyanya yaitu, Dian Pelangi, Jeny Tjahyawati, Ade Listiani, Boeyounq Male Moslem Collection, Errin Ugaru, Ghea Panggabean, Handy Hartono, Anggie Rachmat, Kursien Karzai, Ida Royani, Ina Priyono, Itang Yunasz, Malik Moestaram, Ollyn Sulam Bukittinggi, Sugeng Waskito, Tuty Adib, Tuty Cholid, Yoha Friska Mei Fanny, Zainal Songket dan masih banyak desainer lokal berbakat lainnya.
Sedangkan desainer mancanegara yang menggelar karyanya, yaitu Yan’s Creation (Malaysia), Sharose (Malaysia), Hikmat Ahmed Salih (Timur Tengah), Amalina Aman (Australia), Eisha Saleh (Australia), Hanadi Chehab and Howayda Moussa (Australia).
Peluang dan tantangan
Pasar busana muslim baik domestik maupun ekspor diyakini akan terus meningkat seiring trend berbusana yang menutup aurat tersebut. Konsistensi para perancang busana dan pemilik brand-brand busana muslim Indonesia dalam mempromosikan industri ini serta dukungan pemerintah menambah optimisme bahwa Indonesia akan mampu menjadi pusat mode muslim fashion dunia.
Salah satu bukti keunggulan produk Muslim fashion Indonesia seperti yang dialami perancang Anniesa Hasibuan yang pada awal September 2015 lalu menampilkan 15 rancangan bajunya di New York Couture Fashion Week, di pusat industri fashion, Manhattan, New York Amerika Serikat.
Seperti dikutip Pikiran Rakyat Online, dalam event tersebut Anniesa menampilkan desain konsep Couture Fashion berjudul "Sasikirana" yang dalam bahasa Jawa yang artinya Cahaya Bulan. Anniesa menampilkan 15 rancangan baju dengan tekstur topi hijab, dominasi warna putih dan emas.
Anniesa memadukan kain Prada dengan kombinasi aksen batik dari Jawa Tengah. Lebih dari 500 tamu yang terdiri dari pemilik butik, desainer, talent agent, wartawan mode hingga fashion bloggers, tampak terpesona dengan karya fashion muslim ini.
"Saya sempat nggak bisa tidur semalam, karena ini ajang dunia, internasional. Ini adalah mimpi semua desainer Indonesia untuk menggelar karyanya di New York. Alhamdulillah, saya mendapatkan kesempatan ini," kata Anniesa saat bertemu dengan Produser VOA, Naratama.
Sambutan hangat juga disampaikan oleh Andres Aquino, pendiri dan produser New York Couture Fashion Week. "Karya desainer Indonesia memang sangat luar biasa, mempunyai imajinasi yang sangat tinggi. Saya berharap lebih banyak lagi desainer Indonesia tampil di sini," kata Andres dengan penuh semangat di antara pemotretan model-model Anniesa, di atas karpet merah.
Langkah Anniesa dan desainer-desainer muda Indonesia lainnya yang tampil di ajang-ajang fashion week di pusat-pusat mode dunia seperti itu semakin memperkuat posisi Indonesia yang bercita-cita menjadi icon fashion Muslim dunia tahun 2020.
Bila hal itu bisa terealisasi, akan menggairahkan industri garmen di Indonesia dan tentu akan berdampak pada tersedianya banyak lapangan pekerjaan mulai di lini produksi, pemasaran, distribusi dan seterusnya.
Namun agar fondasi Indonesia sebagai pusat fashion muslim dunia lebih kokoh, menurut Direktorat Jenderal Industri Kecil Menengah Kementerian Perindustrian, Euis Saedah, ada beberapa kendala yang harus dibenahi.
Pertama, penyediaan bahan baku yang sampai sekarang sering masih harus impor. Kain-kain yang biasa digunakan untuk industri fashion seperti kain katun dan sutera merupakan dua komoditas yang masih harus diimpor sampai saat ini.
Salah satu cara yang dilakukan pemerintah untuk mengatasi masalah ini dengan mendirikan sebuah badan penyanggan kestabilan harga bahan baku fashion melalui BUMN. Sampai saat ini belum efektif untuk mengatasi masalah kenaikan harga dan pasokan kain impor.
Kedua, dalam hal teknologi. Sekalipun Indonesia memiliki kekayaan budaya dan juga teknik pembuatan kain yang baik. Sebut saja batik tulis sampai kain tenun handmade, sayangnya hal ini menjadi salah satu kekurangan jika diproduksi massal. "Masyarakat masih banyak yang menggunakan alat tenun ATBM sehingga produksinya masih sangat terbatas dan proses produksinya lama," jelasnya.
Ketiga, soal sumber daya manusia (SDM) yang masih banyak orang yang bergelut di fashion hanya sekedar hobi atau ikut-ikutan. Untuk itu, beberapa asosiasi desainer mencoba didukung pemerintah mengadakan pelatihan untuk memajukan industri fashion.
Keempat, dalam hal pemasaran, sampai saat ini masih banyak produsen fashion Muslim yang terhambat pemasaran produknya. Sekalipun produk yang mereka hasilkan bagus, namun tak ada gunanya jika pemasaran tak memadai. Upaya yang dilakukan pemerintah untuk membantu IKM adalah dengan membantu memasarkan berbagai produknya dengan mengikutsertakan mereka dalam pameran.
Kelima, permodalan yaitu bagaimana para pelaku IKM yang memproduksi Muslim fashion ini menjadi bankable. Pada tahap awal mereka bisa menggunakan skema pinjaman Kredit Usaha Rakyat (KUR) dan dana bergulir. Namun dalam pengembangan selanjutnya perlu mendapatkan akses kredit komersi dari perbankan.
(Edy Sasmito)
Sebuah kultur lokal yang tak kalah kompleks sebagaimana diwariskannya batik, dan tenun dari generasi ke generasi. Sebuah kekuatan yang mengakar dari setiap ujung jari nenek moyang kita 'terhubung' pada tangan-tangan kreatif kita hari ini.
Di industri busana muslim (muslim fashion), Indonesia memiliki potensi besar untuk menjadi trend setter dan pusat mode dunia karena secara kultur, bangsa ini mampu mewujudkannya.
Visi Bangsa dan Dinamika Hari Ini
Kalangan asosiasi desainer Indonesia dan pemerintah sudah mencanangkan tahun 2020 Indonesia akan menjadi kiblat busana muslim dunia. Seperti halnya pusat mode dunia yang dinilai paling maju dewasa ini, yakni Paris, Milan, New York dan London.
Dalam merealisasi ide-ide kreatif, para desainer dan pelaku industri ini tak henti-henti bekerja sekeras-kerasnya dan kini telah melahirkan banyak rancangan-rancangan favorit yang men-dapat pengakuan dan diperhitungkan di pasar mode dunia.
Soal Momentum, tentu tidak akan datang begitu saja tanpa diciptakan. Eksibisi, fashion week, konferensi mode busana level internasional sudah harus menjadi agenda tahunan untuk dihelat di berbagai kota di negeri ini. Dan mempromosikannya ke berbagai target pasar melalui media-media komunikasi baik lokal dan luar negeri, dan seterusnya.
Yang menjadi ujung tombak keberhasilannya, adalah bagaimana mengembangkan bisnisnya. Industri busana dan mode ini harus memiliki kemampuan merebut minat pasar, dan dilakukan secara agresif.
Sebab targetnya bukan sekadar menjual produk garmen muslim tapi memiliki brand-brand berkelas dunia yang meramaikan pusat-pusat mode busana muslim yang kita bangun.
"Dilihat dari perkembangannya, busana muslim Indonesia memiliki gaya yang lebih kreatif dan fashionable dibandingkan produk dari negara-negara Muslim lainnya," ungkap Ketua Dewan Penasehat Asosiasi Perancang dan Pengusaha Mode Indonesia (APPMI), Taruna Kusmayadi di Jakarta beberapa waktu lalu.
Salah satu event yang baru saja digelar adalah pameran dan kompetisi Indonesia International Islamic Fashion and Products (IIIFP) 2015 yang bertemakan “Ethnic Urbanovative” yang melibatkan 60 perancang dari dalam dan luar negeri seperti dari Malaysia, Australia, dan negara-negara Timur Tengah. Bahkan Australia cukup antusias dengan mengirimkan empat desainer. Mereka akan menghadirkan busana muslim dengan bahan batik Aborigin.
IIIFP 2015 didukung oleh Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah, Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan, Kementerian Pariwisata, Kementerian Badan Usaha Milik Negara, dan Kementerian Luar Negeri serta disponsori oleh BCA, AGP dan Wardah Cosmetic.
Kegiatan fashion show berlangsung pada hari pertama dan kedua, tanggal 9 dan 10 September 2015, menampilkan karya-karya desainer Indonesia dan mancanegara.
Desainer Indonesia yang menggelar karyanya yaitu, Dian Pelangi, Jeny Tjahyawati, Ade Listiani, Boeyounq Male Moslem Collection, Errin Ugaru, Ghea Panggabean, Handy Hartono, Anggie Rachmat, Kursien Karzai, Ida Royani, Ina Priyono, Itang Yunasz, Malik Moestaram, Ollyn Sulam Bukittinggi, Sugeng Waskito, Tuty Adib, Tuty Cholid, Yoha Friska Mei Fanny, Zainal Songket dan masih banyak desainer lokal berbakat lainnya.
Sedangkan desainer mancanegara yang menggelar karyanya, yaitu Yan’s Creation (Malaysia), Sharose (Malaysia), Hikmat Ahmed Salih (Timur Tengah), Amalina Aman (Australia), Eisha Saleh (Australia), Hanadi Chehab and Howayda Moussa (Australia).
Peluang dan tantangan
Pasar busana muslim baik domestik maupun ekspor diyakini akan terus meningkat seiring trend berbusana yang menutup aurat tersebut. Konsistensi para perancang busana dan pemilik brand-brand busana muslim Indonesia dalam mempromosikan industri ini serta dukungan pemerintah menambah optimisme bahwa Indonesia akan mampu menjadi pusat mode muslim fashion dunia.
Salah satu bukti keunggulan produk Muslim fashion Indonesia seperti yang dialami perancang Anniesa Hasibuan yang pada awal September 2015 lalu menampilkan 15 rancangan bajunya di New York Couture Fashion Week, di pusat industri fashion, Manhattan, New York Amerika Serikat.
Seperti dikutip Pikiran Rakyat Online, dalam event tersebut Anniesa menampilkan desain konsep Couture Fashion berjudul "Sasikirana" yang dalam bahasa Jawa yang artinya Cahaya Bulan. Anniesa menampilkan 15 rancangan baju dengan tekstur topi hijab, dominasi warna putih dan emas.
Anniesa memadukan kain Prada dengan kombinasi aksen batik dari Jawa Tengah. Lebih dari 500 tamu yang terdiri dari pemilik butik, desainer, talent agent, wartawan mode hingga fashion bloggers, tampak terpesona dengan karya fashion muslim ini.
"Saya sempat nggak bisa tidur semalam, karena ini ajang dunia, internasional. Ini adalah mimpi semua desainer Indonesia untuk menggelar karyanya di New York. Alhamdulillah, saya mendapatkan kesempatan ini," kata Anniesa saat bertemu dengan Produser VOA, Naratama.
Sambutan hangat juga disampaikan oleh Andres Aquino, pendiri dan produser New York Couture Fashion Week. "Karya desainer Indonesia memang sangat luar biasa, mempunyai imajinasi yang sangat tinggi. Saya berharap lebih banyak lagi desainer Indonesia tampil di sini," kata Andres dengan penuh semangat di antara pemotretan model-model Anniesa, di atas karpet merah.
Langkah Anniesa dan desainer-desainer muda Indonesia lainnya yang tampil di ajang-ajang fashion week di pusat-pusat mode dunia seperti itu semakin memperkuat posisi Indonesia yang bercita-cita menjadi icon fashion Muslim dunia tahun 2020.
Bila hal itu bisa terealisasi, akan menggairahkan industri garmen di Indonesia dan tentu akan berdampak pada tersedianya banyak lapangan pekerjaan mulai di lini produksi, pemasaran, distribusi dan seterusnya.
Namun agar fondasi Indonesia sebagai pusat fashion muslim dunia lebih kokoh, menurut Direktorat Jenderal Industri Kecil Menengah Kementerian Perindustrian, Euis Saedah, ada beberapa kendala yang harus dibenahi.
Pertama, penyediaan bahan baku yang sampai sekarang sering masih harus impor. Kain-kain yang biasa digunakan untuk industri fashion seperti kain katun dan sutera merupakan dua komoditas yang masih harus diimpor sampai saat ini.
Salah satu cara yang dilakukan pemerintah untuk mengatasi masalah ini dengan mendirikan sebuah badan penyanggan kestabilan harga bahan baku fashion melalui BUMN. Sampai saat ini belum efektif untuk mengatasi masalah kenaikan harga dan pasokan kain impor.
Kedua, dalam hal teknologi. Sekalipun Indonesia memiliki kekayaan budaya dan juga teknik pembuatan kain yang baik. Sebut saja batik tulis sampai kain tenun handmade, sayangnya hal ini menjadi salah satu kekurangan jika diproduksi massal. "Masyarakat masih banyak yang menggunakan alat tenun ATBM sehingga produksinya masih sangat terbatas dan proses produksinya lama," jelasnya.
Ketiga, soal sumber daya manusia (SDM) yang masih banyak orang yang bergelut di fashion hanya sekedar hobi atau ikut-ikutan. Untuk itu, beberapa asosiasi desainer mencoba didukung pemerintah mengadakan pelatihan untuk memajukan industri fashion.
Keempat, dalam hal pemasaran, sampai saat ini masih banyak produsen fashion Muslim yang terhambat pemasaran produknya. Sekalipun produk yang mereka hasilkan bagus, namun tak ada gunanya jika pemasaran tak memadai. Upaya yang dilakukan pemerintah untuk membantu IKM adalah dengan membantu memasarkan berbagai produknya dengan mengikutsertakan mereka dalam pameran.
Kelima, permodalan yaitu bagaimana para pelaku IKM yang memproduksi Muslim fashion ini menjadi bankable. Pada tahap awal mereka bisa menggunakan skema pinjaman Kredit Usaha Rakyat (KUR) dan dana bergulir. Namun dalam pengembangan selanjutnya perlu mendapatkan akses kredit komersi dari perbankan.
(Edy Sasmito)
Posting Komentar untuk "Muslim Nusantara Kiblat Baru Fashion Dunia"