Glam Bag adalah brand yang di-create oleh Trin Irmaya. Baginya, selalu cerita unik dalam setiap rancangan sebuah tas yang cantik, tas wanita. Pantas jika dokter gigi itu menjadikan tas sebagai bagian dari hidup dan inspirasinya. Bagi Trin, tas melambangkan banyak hal termasuk ketelitian, kreativitas, hingga sejarah pembuatnya.
Berbekal kecintaan pada tas koleksinya itulah, Trin yang juga istri seorang dokter spesialis urologi itu nekad menjadikan tas sebagai sumber peluang yang menguntungkan.
Awalnya, Trin adalah pecinta tas-tas impor branded. Alumnus Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Trisakti itu hobi mengoleksi tas-tas bermerek dan sangat anti membeli barang KW alias tiruan.
Ketika suatu saat ia melihat tas-tas tenun di sebuah media sosial, Trin pun tergoda untuk membeli dan membelinya. "Tapi saya sering tidak puas dengan jahitannya atau beberapa bagian yang kurang rapi," katanya. Dari situlah ia terinspirasi untuk membuat tas serupa dengan disain pilihannya sendiri.
"Pada awalnya saya pesan ke tukang, saya pakai ternyata banyak teman saya suka dan pesan ke saya. Sampai 1,5 tahun kemudian saya jalani seperti ini," katanya.
Maka bisnis yang dijalankan secara tak sengaja karena berawal dari hobi itu pun mulai dia seriusi sejak 2012. Trin juga kebetulan punya banyak waktu luang setelah memutuskan tidak lagi berpraktik sebagai dokter karena ingin mengurus anak-anaknya secara lebih fokus. Oleh karena itu, merintis usaha sendiri di rumah menurutnya menjadi salah satu pilihan yang baik sebagai kesibukan barunya.
Trin mulai merekrut tukang-tukang sementara disain ia buat sendiri untuk memastikan setiap karyanya adalah masterpiece. Semua tas diproduksi di workshop kecilnya di Komplek Pertamina Rawamangun, Jakarta Timur.
Trin mulai rajin berburu kain-kain etnik mulai dari batik, tenun, songket, hingga kain khas Kalimantan. "Saya tidak produksi tas secara massal jadi setiap karya yang saya jual adalah masterpiece," katanya.
Ibu empat anak itu fokus untuk memastikan kualitas produknya berupa tas buatan tangan yang dibuat dari bahan-bahan pilihan khas Indonesia di antaranya tenun Bali, songket NTT, lagosi dari Sulawesi Selatan, dan batik dari Jawa Tengah. Sementara kulit yang digunakan juga standar kulit asli kualitas terbaik.
Hal itulah yang menjadi salah satu kelebihan produk yang dihasilkan Trin sehingga tas etnik bermerek Glam Bag yang dibuatnya hampir tidak mungkin ada yang menyamai kecuali dipesan dalam jumlah lebih dari satu. Dengan brand itu ia mulai memasarkan tas-tas etnik di Catwalk Kelapa Gading Jakarta Utara.
Gandeng Mitra Bisnis
Dalam tiga tahun terakhir, banyak hal yang mendorong bisnis Trin kian maju. Ia kini pun tak lagi sendiri. Seorang rekan bernama Estini Wulandari bergabung menjadi mitranya. "Saya lalu bagi tugas, saya di bagian produksi dan teman saya di bagian pemasaran dan administrasi," katanya.
Trin sejak awal memang lebih suka memikirkan disain dan memproduksi barang dengan kualitas yang bagus maka dengan bergabungnya Estini, pemasaran semakin terkoordinir secara rapi. Glam Bag misalnya kini telah memiliki website di www.glam-bag.com dan dipasarkan secara online melalui media sosial selain juga dipasarkan secara off line di Catwalk.
Saat ini Trin mempekerjakan tiga karyawan tetap dan enam karyawan musiman yang direkrut jika pesanan membludak. Trin yang melakukan kurasi sendiri terhadap semua produk yang akan dihasilkannya itu bisa membuat rata-rata 50 tas etnik dalam sebulan.
Selain tas, perempuan berdarah campuran Jawa-Riau itu juga membuat clutch, aksesories, dompet, hingga pouch.
Usaha yang dibangunnya pun mulai membuahkan hasil ketika omzet yang diraupnya kini telah mencapai puluhan juta rupiah perbulan. Ia belum terkonsentrasi pada pasar ekspor sebab pasar domestik pun menurut Trin masih besar peluangnya.
Glam Bag kini dipasarkan dengan kisaran harga Rp1,2 juta hingga Rp2 juta tapi untuk set travelling (3 piece) harganya bisa mencapai Rp5 jutaan.
Trin dan Estini tak takut dengan kompetitor karena yakin produknya adalah masterpiece. Dari setiap lembar kain yang ada mereka hanya membuatnya menjadi 4-5 disain sehingga yakin di pasaran tak ada yang menyamai. Selain itu kain etnik dengan pewarna alam pun biasanya tak bisa diproduksi massal makin membuat produknya sebagai barang langka yang layak dikoleksi.
"Tahun depan saya akan fokus memproduksi dan mempromosikan tas berbahan songket Riau," katanya. (edsas)
Berbekal kecintaan pada tas koleksinya itulah, Trin yang juga istri seorang dokter spesialis urologi itu nekad menjadikan tas sebagai sumber peluang yang menguntungkan.
Awalnya, Trin adalah pecinta tas-tas impor branded. Alumnus Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Trisakti itu hobi mengoleksi tas-tas bermerek dan sangat anti membeli barang KW alias tiruan.
Ketika suatu saat ia melihat tas-tas tenun di sebuah media sosial, Trin pun tergoda untuk membeli dan membelinya. "Tapi saya sering tidak puas dengan jahitannya atau beberapa bagian yang kurang rapi," katanya. Dari situlah ia terinspirasi untuk membuat tas serupa dengan disain pilihannya sendiri.
"Pada awalnya saya pesan ke tukang, saya pakai ternyata banyak teman saya suka dan pesan ke saya. Sampai 1,5 tahun kemudian saya jalani seperti ini," katanya.
Maka bisnis yang dijalankan secara tak sengaja karena berawal dari hobi itu pun mulai dia seriusi sejak 2012. Trin juga kebetulan punya banyak waktu luang setelah memutuskan tidak lagi berpraktik sebagai dokter karena ingin mengurus anak-anaknya secara lebih fokus. Oleh karena itu, merintis usaha sendiri di rumah menurutnya menjadi salah satu pilihan yang baik sebagai kesibukan barunya.
Trin mulai merekrut tukang-tukang sementara disain ia buat sendiri untuk memastikan setiap karyanya adalah masterpiece. Semua tas diproduksi di workshop kecilnya di Komplek Pertamina Rawamangun, Jakarta Timur.
Trin mulai rajin berburu kain-kain etnik mulai dari batik, tenun, songket, hingga kain khas Kalimantan. "Saya tidak produksi tas secara massal jadi setiap karya yang saya jual adalah masterpiece," katanya.
Ibu empat anak itu fokus untuk memastikan kualitas produknya berupa tas buatan tangan yang dibuat dari bahan-bahan pilihan khas Indonesia di antaranya tenun Bali, songket NTT, lagosi dari Sulawesi Selatan, dan batik dari Jawa Tengah. Sementara kulit yang digunakan juga standar kulit asli kualitas terbaik.
Hal itulah yang menjadi salah satu kelebihan produk yang dihasilkan Trin sehingga tas etnik bermerek Glam Bag yang dibuatnya hampir tidak mungkin ada yang menyamai kecuali dipesan dalam jumlah lebih dari satu. Dengan brand itu ia mulai memasarkan tas-tas etnik di Catwalk Kelapa Gading Jakarta Utara.
Gandeng Mitra Bisnis
Dalam tiga tahun terakhir, banyak hal yang mendorong bisnis Trin kian maju. Ia kini pun tak lagi sendiri. Seorang rekan bernama Estini Wulandari bergabung menjadi mitranya. "Saya lalu bagi tugas, saya di bagian produksi dan teman saya di bagian pemasaran dan administrasi," katanya.
Trin sejak awal memang lebih suka memikirkan disain dan memproduksi barang dengan kualitas yang bagus maka dengan bergabungnya Estini, pemasaran semakin terkoordinir secara rapi. Glam Bag misalnya kini telah memiliki website di www.glam-bag.com dan dipasarkan secara online melalui media sosial selain juga dipasarkan secara off line di Catwalk.
Saat ini Trin mempekerjakan tiga karyawan tetap dan enam karyawan musiman yang direkrut jika pesanan membludak. Trin yang melakukan kurasi sendiri terhadap semua produk yang akan dihasilkannya itu bisa membuat rata-rata 50 tas etnik dalam sebulan.
Selain tas, perempuan berdarah campuran Jawa-Riau itu juga membuat clutch, aksesories, dompet, hingga pouch.
Usaha yang dibangunnya pun mulai membuahkan hasil ketika omzet yang diraupnya kini telah mencapai puluhan juta rupiah perbulan. Ia belum terkonsentrasi pada pasar ekspor sebab pasar domestik pun menurut Trin masih besar peluangnya.
Glam Bag kini dipasarkan dengan kisaran harga Rp1,2 juta hingga Rp2 juta tapi untuk set travelling (3 piece) harganya bisa mencapai Rp5 jutaan.
Trin dan Estini tak takut dengan kompetitor karena yakin produknya adalah masterpiece. Dari setiap lembar kain yang ada mereka hanya membuatnya menjadi 4-5 disain sehingga yakin di pasaran tak ada yang menyamai. Selain itu kain etnik dengan pewarna alam pun biasanya tak bisa diproduksi massal makin membuat produknya sebagai barang langka yang layak dikoleksi.
"Tahun depan saya akan fokus memproduksi dan mempromosikan tas berbahan songket Riau," katanya. (edsas)
Posting Komentar untuk "Setiap Karya Adalah Masterpiece"