Hereditary (2018) (4,5/5)


"I never wanted to be your mother" 

RottenTomatoes : 89% | IMDb : 7,6/10 | Metascore: 87/100 | NikenBicaraFilm: 4,5/5

Rated: R | Genre: Horror, Mystery, Drama 

Directed by Ari Aster ; Produced by Kevin Frakes, Lars Knudsen, Buddy Patrick ; Written by Ari Aster ; Starring Toni Collette, Alex Wolff, Milly Shapiro, Ann Dowd, Gabriel Byrne ; Music by Colin Stetson ; Cinematography Pawel Pogorzelski ; Edited by Jennifer Lame, Lucian Johnston ; Production company PalmStar, Media Finch Entertainment, Windy Hill Pictures ; Distributed by A24 ; Release date January 21, 2018 (Sundance), June 8, 2018 (United States) ; Running time 127 minutes ; Country United States ; Language English ; Budget $10 million ; Box office $73.2 million

Story / Cerita / Sinopsis :
Ketika sang ibu, Ellen, meninggal dunia, Annie Leigh (Toni Collette) dan keluarga kecilnya mulai mengalami kejadian-kejadian tragis dan misterius yang tampaknya berhubungan dengan rahasia kelam keluarga mereka. 

Review / Resensi :
Menjadi film keempat dari A24 yang ditayangkan secara luas (wide release) setelah The Witch (2015), Free Fire (2016), dan It Comes at Night (2017), adalah keajaiban ketika Hereditary berhasil tayang di bioskop Indonesia - biarpun tayangnya cuma di jaringan CGV dan Cinemaxx. Orang Indonesia itu pada dasarnya pecinta film horror, jadi ga heran ketika Hereditary kemudian jadi film horror yang disukai dan diperbincangkan banyak orang. Timeline semua sosmed saya langsung ramai dengan orang-orang yang bilang betapa disturbing-nya Hereditary, banyak orang yang stress sepulang nonton film ini karena terbayang adegan-adegannya yang menancap kuat di ingatan (termasuk saya, yang ga bisa tidur nyenyak habis nonton ini). Saya nonton ini hampir 3 minggu setelah penayangan pertamanya, di hari kerja dan siang hari, tapi bioskop masih saja dipenuhi penonton. Intinya, tampaknya Hereditary menjadi standar baru film horror yang disukai penonton mainstream Indonesia. Hal ini cukup menarik karena Hereditary menawarkan pendekatan relatif baru dari genre horror bagi orang Indo yang terbiasa dengan film-film seperti The Conjuring dan Insidious. Sebenarnya ga cuma di Indonesia aja sih, karena belakangan di luar sendiri film-film dengan budget tipis dan idealis macam begini (contoh: Get Out (2017)) sudah mulai bisa diterima penonton umum dan memperoleh pendapatan berkali-kali lipat dari budget-nya.  

Sejujurnya, saya agak bingung mau nulis review film ini seperti apa lagi. Pertama, karena saya nontonnya telat banget saat hype-nya sudah reda. Kedua, ulasan Hereditary sudah banyak dan intinya sih kurang lebih sama: Hereditary adalah film horror wajib tonton yang menakutkan dan berbeda, karena ga mengandalkan jumpscare moment. Menulis ini nge-"push" saya untuk bisa nulis review dari perspektif yang berbeda supaya ga membosankan. Mudah-mudahan bukan review yang basi. Anyway, penjelasan soal film ini sendiri akan saya bahas lebih lanjut dan lebih dalam di artikel terpisah ya.  

Mari kita bahas inti ceritanya dulu. Hereditary berkisah tentang Annie Leigh (Toni Collette), seorang miniaturist artist, yang ibunya baru saja meninggal dunia. Annie tinggal dengan suaminya Steve (Gabriel Bryne), dan kedua anaknya. Anaknya yang pertama cowok berusia 16 tahun Peter (Alex Wolff), dan anaknya yang kedua cewek 13 tahun bernama Charlie (Milly Saphiro). Dalam sebuah monolog singkat di sebuah group discussion, terungkap bahwa Annie berasal dari keluarga disfungsional: ayahnya kelainan jiwa dan meninggal karena kelaparan, adiknya pengidap schizoprenia dan bunuh diri di usia muda, dan ibunya sendiri disebutnya seolah-olah memiliki kepribadian ganda yang akhirnya mempengaruhi hubungan mereka berdua. Setelah ibunya meninggal, kejadian misterius dan tragis datang merenggut kebahagiaan keluarga kecil Annie. Sampai di sini, premisnya akan mengingatkan kita dengan Pengabdi Setan-nya Joko Anwar (walau tentu saja film ini ga mengenal pocong-pocongan atau hantu yang ngegangguin orang lagi sholat, dan untungnya eksekusi-nya ga seberantakan Pengabdi Setan....).

Hereditary adalah slow-burn horror movie yang lebih suka bermain dengan atmosfer creepy dan tragic moment yang menimbulkan suasana cemas dan depresi. Hereditary bukan tipikal horror-movie yang mengandalkan jumpscare moment yang bikin kaget dan sekedar penampakan setan-setanan doank. Bagi penonton awam, hal ini mungkin adalah suguhan film horror yang tidak biasa, namun bagi yang sudah sering nonton film horror pasti sudah sering nonton film-film model begini. Apa yang Ari Aster lakukan pada debut feature film perdananya ini bukanlah sesuatu yang original, apalagi kalo kita minimal udah pernah nonton film horror-nya A24 seperti The Witch dan It Comes at Night. Menonton Hereditary mengingatkan saya dengan banyak film horror, seperti wide shot angle-nya The Shining, efek paranoia-nya Rosemary's Baby, hingga nuansa indie horror yang kental dari film-film horror 2010-an seperti The Babadook, Under the Shadow, hingga It Follows (Ari Aster sendiri dalam wawancaranya juga mengungkapkan kalo ia terinspirasi dari film Don't Look Now). Walaupun bukan sesuatu yang bener-bener baru, namun Ari Aster sangat efektif dan brilian dalam menampilkan setiap adegan-adegan yang nakutin dan mengerikan. Sebut saja penampakan hantu ngeblur yang bikin kita harus memicingkan mata untuk bener-bener melihat apakah itu beneran "hantu" atau bukan, lalu efek-efek mimpi buruk yang membuat kita sukar membedakan apakah ini mimpi atau kenyataan, hingga puncaknya adegan ala The Exorcist dan Rosemary's Baby yang ditampilkan dengan sangat "elegan". Ari Aster juga cerdas membuat kita meresapi adegan-adegan yang mengusik insting-insting primitif kita akan kematian. *Spoiler Alert*: Taruhlah adegan terbaik di film ini: kematian Charlie. Kita melihat sang kakak Peter pulang dengan lunglai, lalu adegan berpindah ke pagi hari saat kemudian terdengar jeritan histeris nan menyayat hari dari sang ibu, Annie. Lalu kepala Charlie ditampilkan dengan "sadis" di layar bioskop selama beberapa detik. Waktu yang cukup lama, seolah-olah Ari Aster kayak memaksa kita untuk menelan mentah-mentah kenyataan yang menyedihkan itu.

Hereditary bukan semata-mata film horror karena Ari Aster punya visi yang lebih ambisius dari sekedar nakut-nakutin penonton. Saya belum pernah nonton short-movie-nya Ari Aster, tapi kata yang uda nonton sih Ari Aster tampaknya menyukai tema-tema tentang keluarga. Buat saya Hereditary adalah eksplorasi tentang tragedi keluarga, dan bagaimana masing-masing anggota keluarga berusaha menyikapinya. Hal ini sendiri terutama berpuncak pada dialog emosional pada sebuah acara makan malam ketika karakter yang diperankan Toni Collette, Annie, mengeluarkan semua rasa sakitnya: kesedihannya, kemarahannya, serta keputusasaannya sebagai seorang ibu. Saya akan ngebahas ini lebih lanjut di artikel selanjutnya ya. 

Saya juga menyukai bahwa Ari Aster merancang Hereditary dengan sangat teliti, ia punya visi yang kuat dan eksekusi yang cukup solid. Kalo kamu nonton film ini untuk kedua kalinya setelah tahu apa yang sebenarnya terjadi di keluarga ini, niscaya kamu akan menemukan petunjuk-petunjuk kecil yang ditebarkan sepanjang film yang mungkin kelewatan pas nonton pertama. Hereditary memang tipikal film yang ditonton untuk kedua kali lebih seru, walaupun penjelasan soal misteri film ini sendiri udah cukup gamblang ditonton satu kali. Endingnya mungkin agak terlalu "jelas" - dalam artian Hereditary akan lebih menyenangkan jika endingnya dibuat agak lebih misterius. *Spoiler Alert* Saya juga suka ketika tahu kalau Ari Aster beneran meriset tentang sekte demonic yang ditampilkannya di film. Paemon beneran ada, dengan lambang yang beneran seperti itu. Konon kabarnya kalung liontin yang sama yang dikenakan oleh Annie dan Ellen dijual d Etsy, walaupun saya ogah kalo disuruh make. Saya juga suka plot cerita Hereditary yang unpredictable. Kalo nonton trailer dan lihat poster filmnya, kamu akan menyangka Charlie adalah bintang utama film ini - sampai tiba-tiba aja dia dimatiin gitu aja. Dengan cara yang sinting pula.

Kekuatan utama Hereditary tidak hanya datang dari Ari Aster, namun juga didukung oleh performa luar biasa dari Toni Collette. Setelah nonton adegan makan malam, ketika karakternya menumpahkan kemarahannya dalam kalimat-kalimat emosional, reaksi saya langsung pengen nyerahin piala Oscar ke Toni Collette. Lewat The Sixth Sense, About a Boy dan Little Miss Sunshine, Toni Collette kerapkali menjadi karakter ibu yang menyayangi anaknya. Tapi aktingnya di sini sebagai seorang ibu adalah yang paling sinting, apalagi karena filmnya beneran depresif. Selain Toni Collette saya juga menyukai akting "dingin" pemeran Charlie (Milly Saphiro) dan akting depressed dan "kosong" Alex Wolff yang memerankan Peter. Si Alex Wolff ini kayaknya aktingnya lebih oke daripada kakaknya Nat Wolff. Departemen lain yang patut dipuji adalah cinematography dari Pawel Pogorzelski, serta scoring music "mengganggu" dari Colin Stetson. Perhatian saya terutama ada pada Colin Stetson yang sebelumnya sering bekerjasama dengan Bon Iver dan Arcade Fire. My favorite track is "Reborn", soundtrack yang ini paling kece dan "megah" cocok dengan scene yang ditemaninya dan mengakhiri film dengan kesan yang luar biasa. Tapi saya ogah dengerin lagu ini malam hari, serem! Dan saya juga suka production design set-nya yang mendukung atmosfer rumah yang menyeramkan. Fakta kalo set setiap kamar rumahnya dibangun sebagai sebuah panggung (selayaknya doll house yang dikerjakan Annie dalam film ini) juga sangat menarik. Hal ini memungkinkan Hereditary di-shoot dengan angle-angle luas yang ga memungkinkan dilakukan di ruangan sempit. 

Overview :
Probably the scariest horror this year (tapi nunggu Suspiria dulu sih, kayaknya menjanjikan juga sebagai film horror terseram tahun ini). Apa yang dilakukan Ari Aster mungkin bukanlah sesuatu yang benar-benar original dan baru, namun ia mampu mengemasnya dengan sangat efektif dan brilian. Film horror yang menakutkan itu banyak, namun film horror yang menakutkan dan mampu meninggalkan kesan mendalam itu tidak cukup banyak. Hereditary adalah salah satunya - tragedi keluarga yang tragis dan depresif dikemas dalam nuansa horror nan absurd yang akan membuatmu mimpi buruk selepas nonton.

Posting Komentar untuk "Hereditary (2018) (4,5/5)"